Setiap 25 Januari, sebuah organisasi bernama Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) akan mengenang satu orang: Prof.Drs.H.Lafran
Pane. Dia pemrakarsa berdirinya HMI, organisasi yang banyak melahirkan
sumber daya manusia (SDM) terbaik di negeri ini, juga punya andil besar
terhadap lahirnya proklamasi.
Pada 25 Januari 1991, beliau meninggal dunia. Yudi Latif dalam bukunya
Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia
Abad Ke-20, hal 502 menyebutkan: Lafran Pane sebagai generasi ketiga
inteligensia muslim Indonesia setelah generasi pertama (Tjokroaminoto,
Agus Salim,dll), generasi kedua (M. Natsir, M. Roem dan Kasman
Singodimedjo pada 1950-an), generasi keempat (Nurcholish Majid, Imadudin
Abdurrahim dan Djohan Efendi pada 1970-an).
Meskipun Lafran Pane menyejarah, tetapi di kampung kelahirannya, di Desa
Pagurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, nama itu
hampir tidak pernah disebutkan dalam berbagai kegiatan. Tapi, bukan cuma
Lafran Pane, juga semua anggota keluarga besar Sutan Pangurabaan Pane.
Setiap orang di Kota Sipirok paham kalau Pane berasal dari Desa
Pangurabaan. Masyarakat marga Pane konon berasal dari Utara, merantau ke
wilah Selatan melalui jalur sungai Bila (Aek Bila) di Kecamatan Biru.
Dari daerah itu, leluhur marga Pane kemudian menetap di Kecamatan Arse,
lantas menyebar ke wilayah Kecamatan Sipirok, tinggal dan beranak-pinak
di Desa Pangurabaan.
Awalnya, Desa Pangurabaan dominan dihuni masyarakat bermarga Pane. Dalam
perkembangan kemudian terjadi asimilasi budaya akibat perkawinan dan
arus pendatang, Desa Pangurabaan tidak identik lagi dengan marga Pane.
Desa ini dibelah dua jalur Jalan Lintas Sumatra, sekitar 6 km dari ibu
kota Sipirok ke arah Utara. Bertetangga dengan Desa Bagas Nagodang,
sebuah desa yang merupakan salah satu desa pertama di Kecamatan
Sipirok. Kehadiran masyarakat marga Pane di Kecamatan Sipirok erat
kaitannya dengan tradisi persaudaraan yang dibangun dengan masyarakat
marga Siregar, yakni masyarakat yang dominan menghuni Desa Bagas Na
Godang.
Di pinggir jalan, di salah satu rumah tua bercat hijau yang kurang
terawat, di sanalah Lafran Pane pernah tinggal. Ayahnya, Sutan
Pangurabaan Pane, seorang budayawan, sastrawan, wartawan, intelektual,
dan tokoh pergerakan terkenal dari Partai Indonesia (PARTINDO) di
Sumatera Utara. Dari tangan Sutan Pangurabaan Pane telah lahir banyak
buku berupa novel yang ditulis dalam bahasa Batak dari lingkungan
masyarakat beradat Angkola–yakni masyarakat Batak yang tinggal di
Kecamatan Sipirok.
Salah satunya karya Sutan Pangurabaan Pane adalah Tolbok Haleon (Hati
yang Kemarau) diterbitkan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah 1982 dalam katagori naskah kuno. Naskah novel ini
pertama kali terbit 1933 di Medan, dan sampai tahun 1980-an masih
dipakai sebagai bacaan di sekolah. Tolbok Haleon berkisah tentang
kehidupan Lilian Lolosan dan Sitti Bajani pada masa kolonial di Tapanuli
Selatan. Novel ini terbit Sutan Pangurabaan Pane tidak berbicara
tentang kawin paksa dan pertentangan adat seperti kebanyak novel yang
muncul saat itu. Dia bercerita tentang nasib cinta tokohnya yang mesti
mengungsi akibat peperangan melawan Belanda.
Lafran Pane adalah anak keenam Sutan Pangurabaan Pane. Di tangan Sutan
Pangurabaan Pane yang bervisi jauh ke depan dan sudah membayangkan masa
depan sebuah negeri yang merdeka, anak-anaknya dididik menjadi generasi
muda bangsa yang keras dan melawan. Tiga dari anaknya kemudian menjadi
tokoh nasional, Armijn Pane dan Sanusi Pane (pelopor pujangga baru dan
sejarawan nasional), dan juga Lafran Pane.
Tapi keluarga para tokoh nasional ini tidak begitu dikenal di
kampungnya, di Desa Pangurabaan. Tidak banyak yang tahu kalau Sutan
Pangurabaan Pane pernah hidup di antara mereka sebagai figur ayah yang
keras dalam mendidik anak-anaknya sehingga berhasil sebagai tokoh
nasional.
Sebenarnya Lafran Pane lahir di Padangsidempuan 5 Februari 1922. Untuk
menghindari berbagai macam tafsiran, karena bertepatan dengan berdirinya
HMI Lafran Pane mengubah tanggal lahirnya menjadi 12 April 1923.
Sebelum masuk Sekolah Tinggi Islam (STI) latar belakang pendidikan yang
utama dari Lafran Pane adalah Pesantren, HIS, MULO, dan AMS
Muhammadiyah. Dia juga pernah belajar di sekolah-sekolah nasionalis,
seperti Taman Aksara di Sipirok dan Taman Siswa di Medan (Agussalim
Sitompul 1976).
Sebelum tamat dari STI, Lafran pindah ke Akademi Ilmu Politik (AIP) pada
bulan April 1948. Setelah Universitas Gajah Mada (UGM) dinegerikan
tanggal 19 desember 1949, dan AIP dimasukkan dalam Fakultas Hukum,
Ekonomi, Sosial Politik (HESP). Dalam sejarah Universitas Gajah Mada
(UGM), Lafran termasuk mahasiswa-mahasiswa yang pertama mencapai gelar
sarjana, yaitu 26 Januari 1953. Dengan sendirinya Drs. Lafran Pane
menjadi Sarjana Ilmu Politik yang pertama di Indonesia.
Mengenai Lafran Pane, Sujoko Prasodjo dalam sebuah artikelnya di majalah
Media nomor : 7 Thn. III. Rajab 1376 H/ Februari 1957, menuliskan :“
Sesungguhnya, tahun-tahun permulaan riwayat HMI adalah hampir identik
dengan sebagian kehidupan Lafran Pane sendiri. Karena dialah yang punya
andil terbanyak pada mula kelahiran HMI, kalau tidak boleh kita katakan
sebagai tokoh pendiri utamanya”.
Semasa di STI inilah Lafran Pane mendirikan Himpunan Mahasiswa Islam.
HMI merupakan organisasi mahasiswa yang berlabelkan “Islam” pertama di
Indonesia dengan dua tujuan dasar. Pertama, mempertahankan Negara
Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua,
Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dua tujuan inilah yang
kelak menjadi fondasi dasar gerakan HMI sebagai organisasi maupun
individu-individu yang pernah dikader di HMI.
Jika dinilai dari perspektif hari ini, pandangan nasionalistik rumusan
tujuan tersebut barangkali tidak tampak luar biasa. Namun jika dinilai
dari standar tujuan organisasi-organisasi Islam pada masa itu, tujuan
nasionalistik HMI itu memberikan sebuah pengakuan bahwa Islam dan
Keindonesiaan tidaklah berlawanan, tetapi berjalin berkelindan. Dengan
kata lain Islam harus mampu beradaptasi dengan Indonesia, bukan
sebaliknya.
Dalam rangka mensosialisasikan gagasan keislaman-keindonesiaanya. Pada
Kongres Muslimin Indonesia (KMI) 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta yang
dihadiri oleh 185 organisasi alim ulama dan Intelegensia seluruh
Indonesia, Lafran Pane menulis sebuah artikel dalam pedoman lengkap
kongres KMI (Yogyakarta, Panitia Pusat KMI Bagian Penerangan, 1949, hal
56). Artikel tersebut berjudul “Keadaan dan Kemungkinan Kebudayaan Islam
di Indonesia”.
Dalam tulisan tersebut Lafran membagi masyarakat islam menjadi 4
kelompok. Pertama, golongan awam , yaitu mereka yang mengamalkan ajaran
islam itu sebagai kewajiban yang diadatkan seperti upacara kawin, mati
dan selamatan.
Kedua, golongan alim ulama dan pengikut-pengikutnya yang ingin agama
islam dipraktekan sesuai dengan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W.
Ketiga, golongan alim ulama dan pengikutnya yang terpengaruh oleh
mistik. Pengaruh mistik ini menyebabkan mereka berpandangan bahwa hidup
hanyalah untuk akhirat saja. Mereka tidak begitu memikirkan lagi
kehidupan dunia (ekonomi, politik, pendidikan).
Sedangkan golongan keempat adalah golongan kecil yang mecoba
menyesuaikan diri dengan kemauan zaman, selaras dengan wujud dan hakikat
agama Islam. Mereka berusaha, supaya agama itu benar-benar dapat
dipraktekan dalam masyarakat Indonesia sekarang ini.
Lafran sendiri meyakini bahwa agama Islam dapat memenuhi
keperluan-keperluan manusia pada segala waktu dan tempat, artinya dapat
menselaraskan diri dengan keadaan dan keperluan masyarakat dimanapun
juga. Adanya bermacam-macam bangsa yang berbeda-beda masyarakatnya, yang
terganting pada faktor alam, kebiasaan, dan lain-lain. Maka kebudayaan
Islam dapat diselaraskan dengan masyarakat masing-masing.
Sebagai muslim dan warga Negara Republik Indonesia, Lafran juga
menunjukan semangat nasionalismenya. Dalam kesempatan lain, pada pidato
pengukuhan Lafran Pane sebagai Guru Besar dalam mata pelajaran Ilmu Tata
Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial, IKIP Yogyakarta (sekarang
UNY), Kamis 16 Juli 1970, Lafran menyebutkan bahwa Pancasila merupakan
hal yang tidak bisa berubah. Pancasila harus dipertahankan sebagai dasar
Negara Republik Indonesia. Namun ia juga tidak menolak beragam
pandangan tentang pancasila, Lafran mengatakan dalam pidatonya:
“Saya termasuk orang yang tidak setuju kalau Pemerintah atau MPR
mengadakan interprestasi yang tegar mengenai pancasila ini, karena
dengan demikian terikatlah pancasila dengan waktu. Biarkan saja setiap
golongan mempunyai interpretasi sendiri-sendiri mengenai pancasila ini.
Dan interpretasi golongan tersebut mungkin akan berbeda-beda sesuai
dengan perkembangan zaman. Adanya interpretasi yang berbeda-beda
menunjukan kemampuan pancasila ini untuk selam-lamanya sebagai dasar
(filsafat) Negara “. (hal.6)
Dari sepak terjam Lafran Pane dan sumbangannya yang luar biasa terhadap
negara, sangat layak putra daerah dari Kecamatan Sipirok ini menjadi
PAHLAWAN NASIONAL.
Sumber : http://edukasi.kompasiana.com