FILOSOF
AL-FARABI
Oleh
: Anis Syarifah
A.
AL-FARABI
Al-Farabi
memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan
“Al-Farabi” diambil dari nama kota kelahirannya, Farab. Ia lahir pada tahun 258
H/870 M. Ayahanya adalah seorang Iran dan menikahi wanita Turkestan. Oleh
karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga
disebut keturunan Iran.
Al-Farabi hidup
dalam keluarga seorang jenderal Turki. Pendidikan dasar Al-Farabi dimulai
dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi
Al-Qur’an, hadits, tafsir, dan fiqih. Dan bahasa meliputi bahasa Arab, Persia
dan turki. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat, serta melakukan
pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia
bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika,
Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.[1]
B.
FILSAFAT
AL-FARABI
1. Filsafat Emanasi
Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak
timbul dari Yang Satu. Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh
dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kemudian
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu, Al-Farabi
menjelaskannya melalui filsafat emanasi/pancaran.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan
dari pemikiran ini timbul suatu maujud
lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua
yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi.
Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dar pemikiran ini timbullah
wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berfikir
tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama.
Wujud/Akal
|
Tuhan
|
Dirinya
|
Wujud
III/Akal Kedua
|
Wujud
ke IV/Akal Ketiga
|
Bintang-bintang
|
Wujud
IV/Akal Ketiga
|
Wujud
V/Akal Keempat
|
Saturnus
|
Wujud
V/Akal Keempat
|
Wujud
VI/Akal Kelima
|
Jupiter
|
Wujud
VI/Akal Kelima
|
Wujud
VII/Akal Keenam
|
Mars
|
Wujud
VII/Akal Keenam
|
Wujud
VIII/Akal Ketujuh
|
Matahari
|
Wujud
VIII/Akal Ketujuh
|
Wujud
IX/Akal Kedelapan
|
Venus
|
Wujud
IX/Akal Kedelapan
|
Wujud
X/Akal Kesembilan
|
Mercury
|
Wujud
X/Akal Kesembilan
|
Wujud
XI/Akal Kesepuluh
|
Bulan
|
Pada
pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal.
Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang
menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Sehingga ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani
tentang 9 langi (sphere) yang kekal
berputar sekitar bumi. Akal Kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia
ini. Tentang qidam atau barunya alam.
Al-Farabi menentang teori Aristoteles bahwa alam adalah kekal. Al-Farabi
berpendapat bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu
tidak terjadi secara berangsur-angsur, namun sekaligus dengan tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian
penyelidik berpendapat bahwa bagi Al-Farabi qadim
(tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah
dan Pemancaran itu terjadi dari qidam.
Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali
bersifat qidam. Akal Kesepuluh
memancarkan jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal.[2]
Adapun Akal Kesepuluh dinamakan akal yang aktif
bekerja, yang oleh orang Barat disebut active
intelect), yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal
Aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia
menerima cahaya dari matahari. Akal Manusia dapat menangkap arti-arti dan
bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.
2. Filsafat Kenabian
Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat
karena melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul,
dapat menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal
Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari
filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan
filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan
kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal
mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad untuk
berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya dengan imaginasi
yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh pancaindera dan dari
tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan
hubungan dengan Akal Kesepuluh.
3. Teori
Politik
Teori politik
Al-Farabi dalam bukunya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Kota Modern). Dimana
kota, sebagai badan manusia mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain
dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan
keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat), masing-masing anggota harus
diberikan pekerjaan sesuai dengan kesanggupannya. Pekerjaan yang terpenting
dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia
serupa dengan pekerjaan akal. Kepala-lah sumber dari segala peraturan dan
keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta
pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Ia harus mempunyai akal dalam tingkat
ketiga, akal mustafad yang telah dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.sebaik-baik
kepala ialah Nabi atau Rosul. Sifat-sifat yang dekat menyerupai sifat-sifat
Nabi atau Rosul tidak terdapat pada satu orang saja, namun dalam diri beberapa
orang. Maka dari itu, negara diserahkan kepada mereka dan diantara mereka ada
yang mempunyai sifat filosof, adil, dan
lain sebagainya.
Di samping
al-Madinah al-Fadilah ada al-Madinah al-Jahilah yang anggota-anggotanya
bertujuan hanya mencari kesenangan jasmani. Kemudian ada al-Madinah al-Fasiqah
yang anggota-anggotanya mempunyai penhetahuan yang sama dengan anggota
al-Madinah al-Fadilah namun kelakuan mereka sama dengan kelakuan anggota
al-Madinah al-Jahilah. Jiwa yang akan kekal ialah jiwa fadilah yaitu jiwa-jiwa
yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, dan oleh karena itu tidak
hancur dengan hancurnya badan. Adapun jiwa jahilah, jiwa yang tak mencapai
kesempurnaan, belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi akan hancur dengan
hancurnya badan. Dan jiwa yang tahu pada kesenangan tetapi menolaknya (Madinah
Fasiqah) tidak akan hancur dan kekal, tetapi kekal dalam kesengsaraan. Surga
san neraka bagi Al-Farabi adalah soal spirituil.[3]
C.
KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah
filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia
menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan
filsafat. Pemikiran Al-Farabi dikenal dengan filsafat emanasi atau pancaran
dimana Tuhan merupakan Akal Pertama, selain itu ia juga mempunyai pemikiran
terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai
Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat
hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl
al-Madinah al-Fadilah.
D.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang
Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
Harun
Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam
Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
Poerwantana, dkk, Seluk
Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988.