A.
PENDAHULUAN
Adanya
jurang pemisah yang dalam antara islam dengan filsafat Aristoteles dalam
berbagai persoalan, kemudian adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh
kalangan agama terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang
sesuai dengan kaidah agama yang ditetapkan sebelumnya, serta hasrat para filsuf
sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka
bisa bekerja dengan tenang, itulah hal-hal
yang mendorong filsuf-filsuf untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Sebagaimana
Al-Kindi, ia mempertemukan agama dengan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa
keduanya sama-sama merupakan ilmu tentang kebenarann, sehingga diantara
keduanya tidak ada perbedaan. Pengaruh golongan Mu’tazilah Nampak jelas pada
jalan pemikirannya, ketia ia menetapkan kesanggupan akal manusia untuk
mengetahui rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ilmu
filsafat pertama yang meliputi ketuhanan, keesaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu
lain yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh hal-hal yang berguna dan
menjauhkan hal-hal yang merugikan, dibawa kuga oleh rasul Tuhan.
Menurut
Al-Kindi, kita tidak boleh malu
untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya, dari manapun datangnya, meskipun
dari bangsa-bangsa lain yang jauh letaknya dari kita. Tidak ada yang lebih
utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Orang
yang mengingkari filsafat berarti mengingkari kebenaran, dan karenanya maka ia
menjadi kafir. Bahkan lawan-lawan filsafat sangat memerlukan filsafat untuk
memperkuat alas an-alasannya.
Terkadang
terdapat perlawanan dalam lahiriyah antara hasil pemikiran filsafat dengan
ayat-ayat Al-Qur’an. Pemecahan Al-kindi terhadap masalah ini adalah bahwa
kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti sebenarnya (hakiki) dan arti majazi (kiasan, bukan arti sebenarnya).
Arti majazi ini hanya dinyatakan
dengan jalan takwil ( penafsiran), dengan syarat harus dilakukan oleh
orang-orang ahli agama dan ahli pikir.
Kalau
ada perbedaan antara afilsafat dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam
cara, sumber, dan cirri-cirinya, sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh
mereka sesudah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima
pengetahuan (ilmu) dengan cara luar biasa diluar hokum alam.
Sesuai
dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti
pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya.[1]
B.
AL-KINDI
Terkenal
denga sebutan “Filsuf Arab”, Ya’kub Ibn Ishaq Al-Kindi, berasal dari Kindah di
Yaman tetapi lahir di Kufah (Irak) pada tahun 797 M. Ayah Al-Kindi adalah
Gubernur Basrah. Setelah dewasa ia pergi ke bagdad dan mendapat lindungan dari
Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M) dan Khalifah Al-Mu’tasim (833-842 M). Al-Kindi
menganut aliran Mu’tazilah dan kemudian belajar filsafat. Zaman itu adalah zaman
penterjemahan buku-buku Yunani dan Al-Kindi sepertinya juga aktif dalam gerakan
penterjemahan ini, tetapi usahanya lebih banyak dalam member kesimpulan dari
pada menterjemah. Karena ia orang yang berada, maka ia dapat membayar
orang-orang untuk menterjemahkan buku-buku yang diperlukannya.
Kemudian
ia sendiri mengarang buku-buku dan menurut keterangan Ibn Al-Nadim buku-buku
yang ditulisnya berjumlah 241 berupa filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi,
kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, music, matematika, dan sebagainya.
Dalam The Legacy of Islam kit abaca
bahwa bukunya tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan banyak
mempengaruhi Roger Bacon. Al-Kindi meninggal pada tahun 973 M.[2]
Unsur-unsur
filsafat yang kita dapati pada pemikiran Al-Kindi ialah :
a. Aliran
Pytagoras tentang matematika sebagai jalan kea rah flsafat.
b. Pemikiran-pemikiran
Aristoles dalam soal-soal fisika dan metafisika. Meskipun Al-Kindi tidak
sependapat dengan Aristoteles tentang qodim-nya
alam.
c. Pemikiran-pemikiran
Plato dalam hal-hal kejiwaan.
d. Pemikiran-pemikiran
Plato dan Aristoteles bersama-sama dalam soal estetika.
e. Wahyu
dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam hal-hal yang berhubungan dengan Tuhan dan
sifat-Nya.
f. Aliran
Mu’tazialah dalam memuja kekuatan akal manusia dan dalam menakwilkan ayat-ayat
Al-Qur’an.[3]
C.
FILSAFAT
AL-KINDI
Ia
mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia serta terbaik dan yang
tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang yang berpikir. Kata-katanya ini
ditunjukkan kepada mereka yang menentang filsafat dan mengingkarinya karena
dianggap sebagai ilmu kafir dan menyiapkan jalan kepada kekafiran.
Menurut
Al-Kindi, filsafat adalah ilmu tentang hakikat (kebenaran) sesuatu menurut
kesanggupan manusia, ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyah), ilmu keutamaan
(fadilah), ilmu tentang semua hal yang berguna dan cara memperolehnya serta
cara menjauhi perkara-perkara yang merugikan. Jadi, tujuan seorang filsuf
bersifat teori, yaitu mengetahui kebenaran dan bersifat amalan, yaitu
mewujudkan kebenaran tersebut dalam tindakan. Semakin dekat dengan kebenaran,
semakin dekat pula kepada kesempurnaan.
Dalam
keterangan Al-kindi tersebut terdapat unsur-unsur pikiran Plato dan
Aristoteles. Unsur Aristoteles terlihat pada pembagian filsafat bersifat teori
dan amalan. Unsur Plato ialah tercermin dari pendefinisinya terhadap filsafat,
karena sebelum Al-Kindi, Plato telah mengatakan bahwa filsuf adalah orang yang
menghiasi dirinya dengan mencintai kebenaran serta penyelidikan, dan lebih
mengutamakan jalan keyakinan daripada dugaan (dhan).
Jalan
mencapai kebenaran telah digariskan oleh Plato dan aliran Pitagoras. Aliran
Pitagoras menetapkan matematika sebagai jalan ke arah ilmu filsafat. Sesuai
dengan itu, maka Al-Kindi dalam salah satu risalahnya menyatakan perlunya
matematika untuk filsafat dan pembuatan obat-obatan. Dalam riasalah lain yang
berjudul Buku Aristoteles, Al-kindi menekankan perlunya mempelajari buku-buku
Aristoteles dengan menyebutkan urut-urutan kegunaan dan tingkatannya. Dengan demikian maka
Al-Kindi selain memperlihatkan corak Platonisme dan Pitagorasme, ia merupakan pengikut Aristoteles pertama di
Arab.
1.
Filsafat
Ketuhanan
Selain
seorang filosof, Al-kindi adalah seorang ahli ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu
pengetahuan menjadi dua, yaitu :
1) Pengetahuan
Ilahi (Divine Science) sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an yaitu Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah
keyakinan.
2) Pengetahuan
Manusiawi (Human Science), atau
falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Filsafat
baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (knowledfe of truth). Di sinilah terlihat persamaan filsafat dengan
agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, begitu
pula tujuan tujuan filsafat. Disamping wahyu, agama menggunakan akal, dan
filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama (the fisrt truth) bagi Al-kindi ialah Tuhan. Dengan demikian, pada
dasarnya filsafat membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling
tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kindi :
“Filsafat yang tekemuka dan tertinggi
derajatnya adalah filsafat utama, yaitu tentang yang Benar Pertama, yang
menjadi sebab bagi segala yang benar”
Tuhan
dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam
benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak
tersusun materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak serupa dengan Tuhan. Tuhan itu
unik. Ia adalah Yang Benar Pertama dan Yang Benar Tunggal. Ia semata-mata
satu.. hanya ialah yang satu, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Sesuai
dengan paham yang ada dalam islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan
bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan
kekal di zaman lampau, tetapi mempunyai permulaan. Karena itu dalam hal ini ia
lebih dekat pada filsafat Platonius yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah
sumber dari ala mini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi
dari Yang Maha Satu. Namun paham emanasi ini kurang kentara dalam filsafat
Al-Kindi, sehingga kemudian Al-Farabi-lah yang menuliskan tentang paham
tersebut dengan jelas.
2.
Filsafat
Jiwa
Menurut
Al-kindi roh tidak tersusun tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia.
Subtansinya berasal dari subtansi Tuhan. Hubungannya dengan Tuhan sama dengan
hubungan cahaya dengan matahari.
Jiwa
mempunyai 3 daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah dan daya berfikir. Daya
berpikir itu yang disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal : akal
yang bersifat potensil, akal yang telah keluar dari sifat potensil menjadi
aktuil. Dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas disebut Yang
Kedua.
Akal
yang potensil tidak bisa mempunyai sifat aktuil jika tidak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar. Oleh karena itu, bagi Al-Kindi ada lagi satu macam
akal yang mempunyai wujud di luar roh manusia, dan bernama akal yang
selamanya dalam aktualitas. Akal ini,
karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal yang bersifat
potensil dalam roh manusia menjadi aktuil. Sifat-sifat akal ini :
1) Ia
merupakan Akal Pertama
2) Ia
selamanya dalam aktualitas
3) Ia
merupakan species dan genus
4) Ia
membuat akal potensil menjadi aktuil berpikir
5) Ia
tidak sama dengan akal potensil tetapi lain dari padanya
Akal
pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal.
Dalam limpahan dari Yang Maha Satu, akal inilah yang pertama-tama merupakan
yang banyak.
D.
KESIMPULAN
Al-Kindi,
adalah seorang filosof yang berusaha
mempertemukan agama dengan filsafat. Ia berupaya membuktikan bahwa berfilsafat
tidak dilarang. Meski Al-Kindi terpengaruh pemikiran-pemikiran Plato dan
Aristoteles dan memperlihatkan corak pitagorasme, namun dalam beberapa hal Al-Kindi tidak sependapat dengan
para filosof Yunani mengenai hal-hal yang dirasakakn bertentangan dengan ajaran
islam yang diyakininya.
Sebagai filosof islam pertama yang
menyelaraskan agama dengan filsafat, ia telah melicinkan jalan bagi filosof
sesudahnya, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd.
E.
DAFTAR
PUSKATA
Prof.
Dr. Harun Nasution, Falsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973
Drs.
Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat
Islam, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1987
Bagus artikelnya
ReplyDelete