Monday, July 2, 2012

FILOSOF AL-GHAZALI


AL-GHAZALI
(450-505 H/1058-111 M)

a.      Riwayat Hidup Al-Ghazali
Terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali yang populer dengan gelar Hujjatul Islam dan Zainuddin. Dia lahir pada tahun 450 H/1058 M atau seperempat abad setelah kematian Ibnu Sina. Thus adalah kota kelahirannya, yang merupakan salah satu kota di Khurasan. Ada yang berpendapat bahwa dia lahir di Ghazalah yang terletak di ujung Thus. Ayahnya yang miskin bekerja sebagai tukang tenun sutera. Ada pendapat menyebutkan bahwa Ghazali dipanggil al-Ghazzali (dengan z ganda) karena dinisbatkan pada mata pencaharian ayahnya. Sedangkan pendapat lain menyebbutkan bahwa panggilan Ghazali karena dinisbatkan pada tanah kelahirannya.
Al-Gazali dan adiknya, Ahmad pernah dititipkan oleh ayahnya pada seorang sufi yang miskin. Ini dilakukan oleh sang ayah karena ia sangat ingin al-Ghazali hidup di lingkungan yang islami. Namun karena terkendala biaya hidup, sang sufi menyerahkan keduanya ke salah satu sekolah yang didirikan oleh Nizham al-Mulk yang dapat menyediakan asrama dan biaya hidup bagi para pelajar.
Fiqih adalah ilmu yang pertama dipelajari al-Ghazali di kota Thus. Kemudian pindah ke Jarjan pada usia belum mencapai usia sepuluh tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu agama, bahasa Persia dan bahasa Arab. Setelah itu dia kembali ke Thus dan menetap selama tiga tahun. Pada tahun 470 H dia pergi ke Nisabur dan berguru kepada Dhiyauddin al-Juwaini, Imam al-Haramain dan kepada madrasah Nizhamiyah. Pada saat itu dia mempelajari fiqih, ushul, ilmu kalam, ilmu debat, logika, dan filsafat. Saat itulah ia mulai menulis dan mengajar hingga dia menjadi orang yang cukup disegani pada masa  hidup gurunya, al-Juwaini imam al-haramain.
Setelah kematian al-Juwaini al-Ghazali pergi ke Muaskar pada usia 28 tahun. Kemudian dia bertemu Nizham al-Mulk yang menawariya untuk mengajar di madrasah Nizhamiyah Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. Pada masa itu dia memiliki banyak pengagum dan mendapat kedudukan yang tinggi. Kemudian pada tahun 487 H, Khalifah al-Mustadhir meminta al-Ghazali untuk menaggapi pemikiran kaum ismailiyah yang kuat pada saat itu, yang terkenal dengan sebutan al-bathiniyah atau at-ta’limiyah. Untuk menanggapi mereka, al-Ghazali sampai menulis tiga buku.
Al-Ghazali pernah mengalami krisis kepercayaan, dia ragu apakah ilmu-ilmu yang dipelajarinya dapat mengantarnya menuju keyakinan. Sehingga dia terdorong untuk mempelajari filsafat, ilmu kalam, bathiniyah atau ta’limiyah dan tasawuf. Namun menurutya filsafat, ilmu kalam, dan bathiniyah tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan tingkat yakin (al-ma’rifat al-yaqiniyah). Dia juga menyimpulkan bahwa indera dan akal tidak dapat mengantarkan seseorang menuju pengetahuan hakikat (al-ma’rifat al-haqiqah). Terkecuali tasawuf, dia perpendapat bahwa hanya ilmu sufistik merupakan jalan kebenaran untuk mencapai al-ma’rifat al-yaqiniyah.
 
Kegalauan Al-Ghazali
Dalam buku al-Munqidz Min ad-Dhalal, al-Ghazali megatakan bahwa krisis psikologilah yang membuatnya meninggalkan kedudukannya di madrasah Nizhamiyah.
Al-Ghazali berkata, “Jelas bagiku bahwa aku tidak memiliki keinginan terhadap kebahagiaan akhirat, kecuali melalui ketakwwaan dan menahan diri dari hawa nafsu. Pangkal semua itu adalah memutus hubungan hati dengan dunia lewat jalan mejauhi urusan-urusan duniawi dan kembali pada urusan ukhrawi. Da semua itu hanya akan tercapai melaui cara ; menghindari kedudukan dan kekayaan serta menjauhkan diri dari berbagai kesibukan dan angan-angan duniawi.
“Kemudian aku mengamati keadaan diriku. Ternnyata, aku tenggelam dalam berbagai hubungan duniawi dan telah melingkariku dari berbagai sisi. Aku juga mengamati semua pekerjaanku, dimana yang terbaik adalah mengajar dan ceramah. Ternyata aku juga hanya mengejar ilmu yang tidak penting dan tidak bermanfaat di jalan akhirat.” Sambungnya.
“Selanjutnya, aku merenungi niatku dalam mengajar. Ternnyata niatku tidak benar-benar untuk mencari ridha Allah. Bahkan pendorong dan penggerak niatku adalah mencari kedudukan dan popularitas. Maka aku meyakini bahwa aku sedang berada di jurang kehancuran dan mendekati pintu neraka, jika aku tidak segera mengubah keadaanku.” dia menambahkan.
“Saat ini aku dalam situasi memikirkannya untuk memilih. Aku telah bertekad keluar dari Baghdad dan meninggalkan semua keadaan. Sayangnya, masih ada yang ingin menarikku kembali. Aku melangkahkan satu kakiku ke depan dan kaki yang lain ke belakang. Keinginanku untuk mencari akhirat pada usia dini ditentang tentara syahwat, sehingga melemahkanku di usia tua.” Imbuhnya.
Hampir selama eman bulan atau hingga bulan Rajab tahun 488 H aku masih ragu-ragu antara daya tarik syahwat dunia dan daya tarik akhirat. Pada bulan ini, aku melewati batas ikhtiar menuju keterpaksaan sebab Allah mengelukan lidahku sehingga aku tidak dapat mengajar. Aku telah berusaha  sendiri untuk mengajar satu hari sebagai obat hati, tetapi lidahku tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun dan bahkan tidak bisa sama sekali. Aku kemudian mewarisi kekeluan lidah dengan perasaan sedih di dalam hati. Daya pencernaan, selera makan dan minum menjadi terganggu, sehingga aku tidak dapat makan bubur dan tidak dapat mencerna daging serta kekuatanku semakin melemah. Para tabib berdatangan untuk mengobati dengan mengatakan, ‘Ini sesuatu yang menimpa hati dan kemudian beralih ke fisik. Maka, tidak ada cara untuk mengobatinya, kecuali jika batin bebas dari nestapa yang memilukan.’”[1]
Kemudian al-Ghazali menetap di Damaskus selama dua tahun, dan disana dia sangat tekun melakukan Riyadhat an-nafs (olah batin), berkhalwat dan ber-mujahadah serta hidup sebagai kaum zahid yang sufistik. Selanjutnya dia ke Baitulmaqdis, lalu ke Mekkah untuk berziarah ke makam Nabi Ibrahim, lalu ke Hijaz untuk berhaji dan ke Mesir untuk menetap di Iskandariah.
Setelah itu dia kembali ke Thus, kemudian kembali ke Nisabur pada tahun 489. Pada tahun-tahu terakhir dari masa hidupnya, dia menghabiskan waktunya untuk beribadah dan dan meninggal dunia pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun, lalu dimakamkan di Thus.

b.      Kritik Terhadap Filosof-filosof
Al-Ghazali tidak percaya pada filsafat, bahkan memandang filosof-filosof sebagai ahl-bida’ yaitu tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Di dalam Tahafut al-Falasifah al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat berikut :
1.      Tuhan tidak mempunyai sifat.
2.      Tuhan mempunyai subtansi basit (sederhana) dan tidak mempunyai mahiay (hakekat).
3.      Tuhan tudak mempunyai juz’at ( perincian).
4.      Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins (genus) dan al-fasl.
5.      Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6.      Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat.
7.      Hukum alam tak dapat berubah.
8.      Pembangkitan jasmani tidak ada.
9.      Alam ini tidak bermula.
10.  Alam ini akan kekal.
Tiga dari kesepuluh pendapat di atas, menurut al-Ghazali membawa kekufura yaitu :
1.      Alam kekal dalam arti tak bermula.
2.      Tuhan tak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3.      Pembangkitan jasmani tak ada.[2]


c.       Tiga Golongan Manusia
Al-Ghazali membagi umat manusia ke dalam tiga golongan :
1.      Kaum awam, dengan daya kalnya yang sederhana sekali tidak dapat menangkap hakekat-hakekat, mereka mempunyai sifat cepat percaya dan penurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memberi nasehat dan petunjuk.
2.      Kaum pilihan, memiliki daya akal yang kuat dan mendalam harus dihadapi dengan menjelaskan hikmat-hikmat.
3.      Kaum penengkar, mempunyai sikap mematahkan argumen-argumen.

d.      Kesimpulan
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, lahir di Thus pada tahun 450 H/1058 M atau seperempat abad setelah kematian Ibnu Sina. Selama hidupnya al-Ghazali pindah dari satu kota ke kota lain untuk menuntut ilmu dan mengajar. Sampai pada akhirnya dia kembali ke Thus, kemudian kembali ke Nisabur pada tahun 489. Pada tahun-tahu terakhir dari masa hidupnya, dia menghabiskan waktunya untuk beribadah dan dan meninggal dunia pada tahun 505 H/1111 M dalam usia 54 tahun, lalu dimakamkan di Thus.
Al-Ghazali pernah mengalami krisis kepercayaan, terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya, dapatkah mengantarnya menuju keyakinan. Setelah mengkaji berbagai ilmu, dia menyimpulkan bahwa hanya tasawuf atau ilmu sufistik yang merupakan jalan kebenaran untuk mencapai al-ma’rifat al-yaqiniyah.

e.       Daftar Pustaka
[1]   Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah : Kerancuan para Filosof, Penerjemah dan pengantar : Ahmadie Thaha. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1986.
[2]   Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
[3]   Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, 1993.



[1] Abu Hamid al-Ghazali, al-Munqidz Min ad-Dhalal wa al-Muwasshil Ila Dzi al-‘Izzah wa al-Jalal, ditahkikkan oleh Jamil Shaliba dan Kamil Iyadh, Bairut : Dar al-Andalus (t.t.), h. 134-136.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan, 1973, hlm 44-45.

Categories:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Copyright © Catatan Anis Syarifah | Powered by Anis Syarifah