FILOSOF
IBNU SINA
Oleh
: Anis Syarifah
a.
Ibnu
Sina
Ibnu Sina lahir dalam
masa kekacauan, ketika Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan
negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khalifah tersebut mulai
melepaskan diri satu per satu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri,
sebagai pusat pemerintahan Khalifah Abbasiyah dikuasai oleh gologan Bani Bawaih
pada tahu 334 H. dan kekuasaan mereka berlangsug terus sampai tahun 447 H. Di
antara daerah-daerah yang berdiri sediri ialah daulat Semai di Bukhara, dan
diantara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur.[1]
Nama lengkap Ibnu Sina
adalah Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dia dilahirkan di desa
Afsyanah dekat Bukhara pada tahun 370 H (980 M), berdasarkan riwayat dari Ibnu
Khalkan,[2]
atau pada tahun 375 H (985 M), berdasarkan riwayat dari Ibnu Abi Ushaibiah.[3]
Ayahnya berasal dari Ismailiyah. Kemudian ibnu Sina pindah bersama keluarganya
ke Bukhara. Disana dia belajar Al-Qur’an dan sastra saat usianya sekitar
sepuluh tahun. Dia juga belajar dan berguru ilmu fiqih pada ahli zuhud yang
bernama Ismail, serta belajar ilmu mantiq dan teknik kepada Abdullah Natalie.
Setelah ditinggal wafat Abdullah natalie, maka Ibnu Sina mengkaji dan mencari
ilmu sendiri. Dia selanjutnya mempelajari ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga
namanya menjadi populer lantaran kepiawaiaannya pada bidang tersebut.
Saat remaja, selama 1,5
tahun Ibnu Sina berkonsentrasi membaca agar mendapat pelajaran dan ilmu
pengetahuan. Dia kembali mengkaji logika dan seluruh cabang filsafat sehingga
menguasai seluruhnya. Uniknya, jika mengalami kesulitan dalam menjawab sebuah
masalah atau pertanyaan, maka dia berwudhu dan pergi ke masjid jami’ untuk
berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam mejawabnya dan membuka kunci
ilmunya.[4]
Ibnu Sina sangat gemar
mencari ilmu, sebagai buktinya dia membaca buku metafisika Aristoteles hingga
40 kali untuk dapat memahami buku tersebut, namun tidak berhasil dan kemudian
berputus asa. Secara kebetulan dia membaca buku karangan Abu Nashar al-Farabi
tentang tujuan metafisik, dan pada akhirnya dapat memahami tujuan buku
tersebut. Karena begitu bahagiannya dapat memahami buku al-Farabi itu, maka
sebagai tanda syukur ia bersedekah kepada kaum miskin.
Pada tahun 428 H (1037
M) Ibnu Sina menghembuskan nafas terakhir di Hamadzan pada usia 58 tahun dan
dimakamkan di Hamadzan. Namun ada yang berpendapat bahwa makamnya dipindah ke
Isfahan. Pemikiran Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh pandangan dan pendapat
al-Farabi. Dia membaca buku-buku
karangan al-Farabi hingga tamat, sehingga mempengaruhi buku-buku yang
dikarangnya.
b.
Kosmologi
Konsep kosmologi Ibnu
Sina tidak jauh bereda dengan konsep Akal Sepuluh al-Farabi. Istilah pemancaran
atau emanasi sejalan dengan para pendahulunya.[5]
Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para filosof Yunani, terutama Plotinus dalam
menjelaskan bagaimana dari yang satu muncul keberagaman.[6]
Dari Tuhan memacarkan Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memanncar Akal Kedua
dan langit pertama. Demikian seterusnya hingga mencapai Akal Sepuluh dan bumi.
Dari Akal Sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang berada di bawah bulan.
Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Sepuluh adalah Jibril.[7]
Berbeda dengan konsep
akal Farabian yang memiliki dua obyek pemikiran, yaitu berpikir mengenai Tuhan
sebagai Wujud Pertama dan berpikir tentang dirinya sendiri, lain halnya dengan
konsep Ibnu Sina yang memiliki tuga obyek perenungan. akal pertama yang
mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-wujud
lighairihi sebagai pancaran dari Tuhan, dan mumkin al-wujud lidzatihi apabila ditinjau dari hakikat dirinya. akal
pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Yuhan, dirinya sendiri
sebagaimana wajib al-wujudnya, dan
dirinya sebagai mumkin al-wujud-nya.
Ketika akal memikirkan Tuhan akan timbul akal-akal yang lain. Ketika akal
memikirkan dirinya sebagai wajib al-wujud-nya,
timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berpikir tentang dirinya sebagai mumkin al-wujud-nya timbul
langit-langit. Jadi, Akal Pertama melimpahkan tiga wujud, yaitu Akal Kedua,
Jiwa Pertama, dan langit tempat fixed
stars. Gambaran secara skematis dapat dilihat pada penjelasan yang
dinerikan Netton.
c.
Filsafat
Jiwa
Ibnu
Sina mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefinisikannya pada waktu
sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya
spesies (jins) menjadi sempurna
sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina
adalah sesuatu yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu
Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, yaitu :
1. Jiwa
Tumbuh-tumbuhan
Menurut Ibnu
Sina, jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu :
a.
Daya nutrisi, yaitu daya yang mengubah
makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di dalamnya.
b.
Daya pembuluh, yaitu daya penambah
kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan, baik dari sisi
panjang, lebar, maupun volume.
c.
Daya generativ, yaitu daya yang
mengambil dari suatu bagian tubuh yang secara potensial sama.
2. Jiwa
Hewan
Ibnu Sina berpendapat
bahwa jiwa hewan memiliki kekuatan, yaitu :
1.
Daya penggerak, yang terdiri dari dua
bagian, yaitu penggerak sebagai pemici dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak
sebagai pemicu adalah daya hasrat. Daya penggerak sebagai pemicu ini terbagi
menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya daya emosi.
Daya
penggerak sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat dan syaraf untuk
melakukan gerakan yang sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keinginan.
2.
Daya persepsi, terbagi menjadi dua
bagian, yaitu daya yang mempersepsi dari luar (panca indera eksternal) dan daya
yang mempersepsi dari dalam (indera batin, semisal indera kolektif, daya
konsepsi, daya fantasi, waham, dan
memori.)
3. Jiwa
Rasional
Seperti yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina
membedakan dua daya di dalam jiwa rasional, yaitu :
1.
Daya akal praktis, cenderung untuk
mendorong manusia memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan,
dapat disebuat juga perilaku moral.
2.
Daya akal teoritis, adalah mempersepsi
potret-potret universal yang bebas dari
materi.[8]
Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu : 1) Akal potensial (akal
hayulani); 2) Akal bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal perolehan.
d.
Filsafat
Wahyu dan Nabi
Seperti keterangan di
atas bahwa akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah diantaranya ialah
akal materiil (potensi) ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal
materiil (potensi) yang begitu kuat. Yang oleh Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada
pada akal materiil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan,
dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya
pada Nabi-Nabi.[9]
e.
Filsafat
Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat
wujudlah yang terpenting dari yang mempunyai kedudukan di atas sifat lain,
walaupun esensi sendri. Esensi, dalam paham Ibnu Sina, terdapat dalam akal,
sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam
akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa
wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena itu wujud lebih penting
dari esensi. Tidak mengherankan bila dikatakan bahwa Ibnu Sina telah lebih dulu
menimbulkan filsafat wujud atau existensialisme dari filosof-filosof lain.
Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Esensi
yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’, yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud. Sebagai perumpamaan, adanya semua ini juga cosmos lain disamping
cosmos yang ada.
2. Esensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3. Esensi
yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa dipisahkan
dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Disini esensi tidak dimulai
oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi
dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud
selama-lamanya. Yang serupa ini disebut
mesti berwujud, yaitu Tuhan. Wajib
al-wujud itulah yang menunjukan mumkin wujud.
Dengan argument ini
Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika.[10]
f.
Kesimpulan
Ibnu Sina dengan nama
lengkap Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina dilahirkan di desa Afsyanah dekat Bukhara.
Pada usia sekitar sepuluh tahun Ibnu Sina belajar Al-Qur’an dan sastra, dia
juga mempelajari fiqih, ilmu mantiq dan teknik. Dia selanjutnya mempelajari
ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga namanya menjadi populer lantaran
kepiawaiaannya pada bidang tersebut.
Konsep kosmologi Ibnu
Sina tidak jauh bereda dengan konsep Akal Sepuluh al-Farabi, dia juga
terpengaruh filsuf Yunani terutama Plotinus. Ibnu Sina membagi jiwa menjadi
tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa rasional. Selain
itu Ibnu Sina juga memiliki filsafat wahyu dan nabi, serta filsafat wujudnya
yang dapat membuktikan adanya Tuhan menurut logika.
g.
Daftar
Pustaka
[1] Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
[3] Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam
Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, 1993.
[4] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT
Remaja Rosdakarya, 1988.
[2] Ibnu Khalkan, juz 2, hlm 161,
dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, 1993, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[3] Ibnu Abi ushaibiah, hlm 445,
dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, 1993, Jiwa
dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[4] Dr. Muhammad ‘Utsman Najati,
1993, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof
Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[5] Ibid., hlm 111, dalam Dr.
Amroeni Drajat, 2006, Filsafat Islam Buat
yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, hlm
46.
[6] Ibid., hlm 112, dalam Dr. Amroeni
Drajat, 2006, Filsafat Islam Buat yang
Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, hlm
46.
[8] Ahwal an-Nafs, hlm. 63-65;
an-Najjah, hlm. 267-269, dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim,
Bandung : Pustaka Hidayah, 1993, hlm. 146.
[9] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,
Jakarta : Bintang Bulan, 1973, hlm 38-39.
[10] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam,
Jakarta : Bintang Bulan, 1973, hlm 39-40.