Monday, May 28, 2012

FILOSOF IBNU SINA (Kosmologi, Filsafat Jiwa, Filsafat Kenabian dan Filsafat Wujudnya)


FILOSOF IBNU SINA
Oleh : Anis Syarifah

a.      Ibnu Sina
Ibnu Sina lahir dalam masa kekacauan, ketika Khalifah Abbasiyah mengalami kemunduran dan negeri-negeri yang mula-mula berada di bawah kekuasaan khalifah tersebut mulai melepaskan diri satu per satu untuk berdiri sendiri. Kota Baghdad sendiri, sebagai pusat pemerintahan Khalifah Abbasiyah dikuasai oleh gologan Bani Bawaih pada tahu 334 H. dan kekuasaan mereka berlangsug terus sampai tahun 447 H. Di antara daerah-daerah yang berdiri sediri ialah daulat Semai di Bukhara, dan diantara khalifahnya ialah Nuh bin Mansur.[1]
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina. Dia dilahirkan di desa Afsyanah dekat Bukhara pada tahun 370 H (980 M), berdasarkan riwayat dari Ibnu Khalkan,[2] atau pada tahun 375 H (985 M), berdasarkan riwayat dari Ibnu Abi Ushaibiah.[3] Ayahnya berasal dari Ismailiyah. Kemudian ibnu Sina pindah bersama keluarganya ke Bukhara. Disana dia belajar Al-Qur’an dan sastra saat usianya sekitar sepuluh tahun. Dia juga belajar dan berguru ilmu fiqih pada ahli zuhud yang bernama Ismail, serta belajar ilmu mantiq dan teknik kepada Abdullah Natalie. Setelah ditinggal wafat Abdullah natalie, maka Ibnu Sina mengkaji dan mencari ilmu sendiri. Dia selanjutnya mempelajari ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga namanya menjadi populer lantaran kepiawaiaannya pada bidang tersebut.
Saat remaja, selama 1,5 tahun Ibnu Sina berkonsentrasi membaca agar mendapat pelajaran dan ilmu pengetahuan. Dia kembali mengkaji logika dan seluruh cabang filsafat sehingga menguasai seluruhnya. Uniknya, jika mengalami kesulitan dalam menjawab sebuah masalah atau pertanyaan, maka dia berwudhu dan pergi ke masjid jami’ untuk berdoa kepada Allah agar diberikan kemudahan dalam mejawabnya dan membuka kunci ilmunya.[4]
Ibnu Sina sangat gemar mencari ilmu, sebagai buktinya dia membaca buku metafisika Aristoteles hingga 40 kali untuk dapat memahami buku tersebut, namun tidak berhasil dan kemudian berputus asa. Secara kebetulan dia membaca buku karangan Abu Nashar al-Farabi tentang tujuan metafisik, dan pada akhirnya dapat memahami tujuan buku tersebut. Karena begitu bahagiannya dapat memahami buku al-Farabi itu, maka sebagai tanda syukur ia bersedekah kepada kaum miskin.  
Pada tahun 428 H (1037 M) Ibnu Sina menghembuskan nafas terakhir di Hamadzan pada usia 58 tahun dan dimakamkan di Hamadzan. Namun ada yang berpendapat bahwa makamnya dipindah ke Isfahan. Pemikiran Ibnu Sina banyak dipengaruhi oleh pandangan dan pendapat al-Farabi. Dia membaca buku-buku  karangan al-Farabi hingga tamat, sehingga mempengaruhi buku-buku yang dikarangnya.

b.      Kosmologi
Konsep kosmologi Ibnu Sina tidak jauh bereda dengan konsep Akal Sepuluh al-Farabi. Istilah pemancaran atau emanasi sejalan dengan para pendahulunya.[5] Ibnu Sina juga terpengaruh oleh para filosof Yunani, terutama Plotinus dalam menjelaskan bagaimana dari yang satu muncul keberagaman.[6] Dari Tuhan memacarkan Akal Pertama, dan dari Akal Pertama memanncar Akal Kedua dan langit pertama. Demikian seterusnya hingga mencapai Akal Sepuluh dan bumi. Dari Akal Sepuluh memancar segala sesuatu di bumi yang berada di bawah bulan. Akal Pertama adalah malaikat tertinggi dan Akal Sepuluh adalah Jibril.[7]
Berbeda dengan konsep akal Farabian yang memiliki dua obyek pemikiran, yaitu berpikir mengenai Tuhan sebagai Wujud Pertama dan berpikir tentang dirinya sendiri, lain halnya dengan konsep Ibnu Sina yang memiliki tuga obyek perenungan. akal pertama yang mempunyai dua sifat, yaitu wajib al-wujud lighairihi sebagai pancaran dari Tuhan, dan mumkin al-wujud lidzatihi apabila ditinjau dari hakikat dirinya. akal pertama mempunyai tiga obyek pemikiran, yakni Yuhan, dirinya sendiri sebagaimana wajib al-wujudnya, dan dirinya sebagai mumkin al-wujud-nya. Ketika akal memikirkan Tuhan akan timbul akal-akal yang lain. Ketika akal memikirkan dirinya sebagai wajib al-wujud-nya, timbul jiwa-jiwa, dan dari aktivitas berpikir tentang dirinya sebagai mumkin al-wujud-nya timbul langit-langit. Jadi, Akal Pertama melimpahkan tiga wujud, yaitu Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan langit tempat fixed stars. Gambaran secara skematis dapat dilihat pada penjelasan yang dinerikan Netton.
c.       Filsafat Jiwa
Ibnu Sina mendefinisikan jiwa sebagaimana Aristoteles mendefinisikannya pada waktu sebelumnya. Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal, karena dengannya spesies (jins) menjadi sempurna sehingga menjadi manusia nyata. Pengertian kesempurnaan menurut Ibnu Sina adalah sesuatu yang dengan keberadaannya tabiat jenis menjadi manusia.
Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian, yaitu :
1.      Jiwa Tumbuh-tumbuhan
Menurut Ibnu Sina, jiwa tumbuh-tumbuhan memiliki tiga daya, yaitu :
a.       Daya nutrisi, yaitu daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh, dimana daya itu ada di dalamnya.
b.      Daya pembuluh, yaitu daya penambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan, baik dari sisi panjang, lebar, maupun volume.
c.       Daya generativ, yaitu daya yang mengambil dari suatu bagian tubuh yang secara potensial sama.
2.      Jiwa Hewan
Ibnu Sina berpendapat bahwa jiwa hewan memiliki kekuatan, yaitu :
1.      Daya penggerak, yang terdiri dari dua bagian, yaitu penggerak sebagai pemici dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah daya hasrat. Daya penggerak sebagai pemicu ini terbagi menjadi dua sub-bagian, yaitu daya syahwat dan daya daya emosi.     
Daya penggerak sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat dan syaraf untuk melakukan gerakan yang sesuai dengan tujuan untuk mewujudkan keinginan.
2.      Daya persepsi, terbagi menjadi dua bagian, yaitu daya yang mempersepsi dari luar (panca indera eksternal) dan daya yang mempersepsi dari dalam (indera batin, semisal indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan memori.)


3.      Jiwa Rasional
Seperti yang dilakukan al-Farabi, Ibnu Sina membedakan dua daya di dalam jiwa rasional, yaitu :
1.      Daya akal praktis, cenderung untuk mendorong manusia memuaskan perbuatan yang pantas dilakukan atau ditinggalkan, dapat disebuat juga perilaku moral.
2.      Daya akal teoritis, adalah mempersepsi potret-potret universal yang  bebas dari materi.[8] Ada beberapa tingkatan akal teoritis, yaitu : 1) Akal potensial (akal hayulani); 2) Akal bakat (habitual); 3) Akal aktual; 4) Akal perolehan.

d.      Filsafat Wahyu dan Nabi
Seperti keterangan di atas bahwa akal mempunyai empat tingkat dan yang terendah diantaranya ialah akal materiil (potensi) ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil (potensi) yang begitu kuat. Yang oleh Ibnu Sina diberi nama al-hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil serupa ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan, dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal yang serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia, dan terdapat hanya pada Nabi-Nabi.[9]

e.       Filsafat Wujud
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dari yang mempunyai kedudukan di atas sifat lain, walaupun esensi sendri. Esensi, dalam paham Ibnu Sina, terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat diluar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa  wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh karena itu wujud lebih penting dari esensi. Tidak mengherankan bila dikatakan bahwa Ibnu Sina telah lebih dulu menimbulkan filsafat wujud atau existensialisme dari filosof-filosof lain. Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1.      Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina mumtani’, yaitu sesuatu yang mustahil berwujud. Sebagai perumpamaan, adanya semua ini juga cosmos lain disamping cosmos yang ada.
2.      Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini disebut mumkin, yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya ialah alam ini yang pada mulanya tidak ada, kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.      Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, esensi dan wujud adalah sama dan satu. Disini esensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya.  Yang serupa ini disebut mesti berwujud, yaitu Tuhan. Wajib al-wujud itulah yang menunjukan mumkin wujud.
Dengan argument ini Ibnu Sina ingin membuktikan adanya Tuhan menurut logika.[10]

f.       Kesimpulan
Ibnu Sina dengan nama lengkap Abu Ali bin Abdullah bin Hasan bin Ali bin Sina  dilahirkan di desa Afsyanah dekat Bukhara. Pada usia sekitar sepuluh tahun Ibnu Sina belajar Al-Qur’an dan sastra, dia juga mempelajari fiqih, ilmu mantiq dan teknik. Dia selanjutnya mempelajari ilmu fisika dan ketuhanan, sehingga namanya menjadi populer lantaran kepiawaiaannya pada bidang tersebut.
Konsep kosmologi Ibnu Sina tidak jauh bereda dengan konsep Akal Sepuluh al-Farabi, dia juga terpengaruh filsuf Yunani terutama Plotinus. Ibnu Sina membagi jiwa menjadi tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa hewan dan jiwa rasional. Selain itu Ibnu Sina juga memiliki filsafat wahyu dan nabi, serta filsafat wujudnya yang dapat membuktikan adanya Tuhan menurut logika.

g.      Daftar Pustaka
[1]   Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
[2]   Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
[3]   Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, 1993.
[4]   Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988.


[1] Drs. Purwantana dkk, 1988, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, hlm 144.
[2] Ibnu Khalkan, juz 2, hlm 161, dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, 1993, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[3] Ibnu Abi ushaibiah, hlm 445, dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, 1993, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[4] Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, 1993, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, hlm 137.
[5] Ibid., hlm 111, dalam Dr. Amroeni Drajat, 2006, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, hlm 46.
[6] Ibid., hlm 112, dalam Dr. Amroeni Drajat, 2006, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, hlm 46.
[7] Dr. Amroeni Drajat, 2006, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, hlm 47.
[8] Ahwal an-Nafs, hlm. 63-65; an-Najjah, hlm. 267-269, dalam Dr. Muhammad ‘Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, Bandung : Pustaka Hidayah, 1993, hlm. 146.
[9] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan, 1973, hlm 38-39.
[10] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan, 1973, hlm 39-40.

Categories:

Thursday, May 24, 2012

MAKALAH FILOSOF AL-FARABI

FILOSOF AL-FARABI
Oleh : Anis Syarifah

A.    AL-FARABI
Al-Farabi memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan. Sebutan “Al-Farabi” diambil dari nama kota kelahirannya, Farab. Ia lahir pada tahun 258 H/870 M. Ayahanya adalah seorang Iran dan menikahi wanita Turkestan. Oleh karena itu, Al-Farabi disebut keturunan Turkestan dan kadang-kadang juga disebut keturunan Iran.
Al-Farabi hidup dalam keluarga seorang jenderal Turki. Pendidikan dasar Al-Farabi dimulai dengan mempelajari dasar-dasar ilmu agama dan bahasa. Ilmu agama meliputi Al-Qur’an, hadits, tafsir, dan fiqih. Dan bahasa meliputi bahasa Arab, Persia dan turki. Ia juga mempelajari matematika dan filsafat, serta melakukan pengembaraan untuk mendalami ilmu-ilmu lain. Sejak muda hingga dewasa, ia bergelut dengan dunia ilmu. Ia mengunjungi Bagdad dan belajar pada ahli logika, Abu Bisyr Matta ibnu Yunus dan Yuhanna ibnu Khaylan di Harran.[1]

B.     FILSAFAT AL-FARABI
1.      Filsafat Emanasi
Al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak timbul dari Yang Satu. Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kemudian bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari Yang Maha Satu, Al-Farabi menjelaskannya melalui filsafat emanasi/pancaran.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut Akal Pertama yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dar pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal Kedua. Wujud II atau Akal Pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama.

Wujud/Akal
Tuhan
Dirinya
Wujud III/Akal Kedua
Wujud ke IV/Akal Ketiga
Bintang-bintang
Wujud IV/Akal Ketiga
Wujud V/Akal Keempat
Saturnus
Wujud V/Akal Keempat
Wujud VI/Akal Kelima
Jupiter
Wujud VI/Akal Kelima
Wujud VII/Akal Keenam
Mars
Wujud VII/Akal Keenam
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Matahari
Wujud VIII/Akal Ketujuh
Wujud IX/Akal Kedelapan
Venus
Wujud IX/Akal Kedelapan
Wujud X/Akal Kesembilan
Mercury
Wujud X/Akal Kesembilan
Wujud XI/Akal Kesepuluh
Bulan

Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Sehingga ada 10 akal dan 9 langit (dari teori Yunani tentang 9 langi (sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal Kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam atau barunya alam. Al-Farabi menentang teori Aristoteles bahwa alam adalah kekal. Al-Farabi berpendapat bahwa alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, namun sekaligus dengan tak berwaktu.
Tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi Al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan Pemancaran itu terjadi dari qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. Akal Kesepuluh memancarkan jiwa manusia sebagaimana halnya dengan materi asal.[2]
Adapun Akal Kesepuluh dinamakan akal yang aktif bekerja, yang oleh orang Barat disebut active intelect), yang didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan akal manusia dengan Akal Aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal Manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari Akal Aktif.

2.      Filsafat Kenabian
Filosof-filosof dapat mencapai hakekat-hakekat karena melalui komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Begitupun Nabi dan Rosul, dapat menerima wahyu karena memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh. Namun Rosul dan Nabi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari filosof, karena Rosul dan Nabi telah dipilih dan bukan atas usaha sendiri dalam berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, namun atas pemberian dari Tuhan. Sedangkan filosof mengadakan komunikasi atas usahanya sendiri, melalui latihan dan kontemplasi, kemudian komunikasi dapat dilakukan melalui akal, yaitu akal mustafad. Rosul dan Nabi tidak perlu mencapai hingga Akal Mustafad untuk berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh, mereka dapat melakukannya dengan imaginasi yang dapat melepaskan mereka dari pengaruh-pengaruh pancaindera dan dari tuntutan-tuntutan badan, sehingga ia dapat memusatkan perhatian dan mengadakan hubungan dengan Akal Kesepuluh.

3.      Teori Politik
Teori politik Al-Farabi dalam bukunya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Kota Modern). Dimana kota, sebagai badan manusia mempunyai bagian-bagian yang satu dengan yang lain dan mempunyai fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan keseluruhan badan. Dalam kota (masyarakat), masing-masing anggota harus diberikan pekerjaan sesuai dengan kesanggupannya. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat, yang dalam tubuh manusia serupa dengan pekerjaan akal. Kepala-lah sumber dari segala peraturan dan keharmonisan dalam masyarakat. Ia mesti bertubuh sehat dan kuat, pintar, cinta pada ilmu pengetahuan dan pada keadilan. Ia harus mempunyai akal dalam tingkat ketiga, akal mustafad yang telah dapat berkomunikasi dengan Akal Kesepuluh.sebaik-baik kepala ialah Nabi atau Rosul. Sifat-sifat yang dekat menyerupai sifat-sifat Nabi atau Rosul tidak terdapat pada satu orang saja, namun dalam diri beberapa orang. Maka dari itu, negara diserahkan kepada mereka dan diantara mereka ada yang  mempunyai sifat filosof, adil, dan lain sebagainya.
Di samping al-Madinah al-Fadilah ada al-Madinah al-Jahilah yang anggota-anggotanya bertujuan hanya mencari kesenangan jasmani. Kemudian ada al-Madinah al-Fasiqah yang anggota-anggotanya mempunyai penhetahuan yang sama dengan anggota al-Madinah al-Fadilah namun kelakuan mereka sama dengan kelakuan anggota al-Madinah al-Jahilah. Jiwa yang akan kekal ialah jiwa fadilah yaitu jiwa-jiwa yang dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani, dan oleh karena itu tidak hancur dengan hancurnya badan. Adapun jiwa jahilah, jiwa yang tak mencapai kesempurnaan, belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi akan hancur dengan hancurnya badan. Dan jiwa yang tahu pada kesenangan tetapi menolaknya (Madinah Fasiqah) tidak akan hancur dan kekal, tetapi kekal dalam kesengsaraan. Surga san neraka bagi Al-Farabi adalah soal spirituil.[3]

C.    KESIMPULAN
Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan, atau yang lebih dikenal dengan Al-Farabi, adalah filosof yang memulai pendidikan dasarnya melalui belajar ilmu agama. Ia menguasai beberapa bahasa, disamping itu ia juga mempelajari matematika dan filsafat. Pemikiran Al-Farabi dikenal dengan filsafat emanasi atau pancaran dimana Tuhan merupakan Akal Pertama, selain itu ia juga mempunyai pemikiran terhadap kenabian yang ia tunjukkan bagi penganut aliran yang tidak mempercayai Nabi atau Rosul (wahyu) pada zaman itu, dan filsafat kenabian tersebut erat hubungannya dengan teori politiknya yang diuraikannya dalam buku Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadilah.

D.    DAFTAR PUSTAKA
Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, Jakarta : Erlangga, 2006.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bintang Bulan,1973.
Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1988.


[1] Dr. Amroeni Drajat, Filsafat Islam Buat yang Pengen Tahu, 2006, hlm 26.
[2] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 29.
[3] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, hlm 33.

Categories:

http://www.resepkuekeringku.com/2014/11/resep-donat-empuk-ala-dunkin-donut.html http://www.resepkuekeringku.com/2015/03/resep-kue-cubit-coklat-enak-dan-sederhana.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/10/resep-donat-kentang-empuk-lembut-dan-enak.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/07/resep-es-krim-goreng-coklat-kriuk-mudah-dan-sederhana-dengan-saus-strawberry.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/06/resep-kue-es-krim-goreng-enak-dan-mudah.html http://www.resepkuekeringku.com/2014/09/resep-bolu-karamel-panggang-sarang-semut-lembut.html

Copyright © Catatan Anis Syarifah | Powered by Anis Syarifah